Pendahuluan
Halo masbro-mbaksis sekalian. Kali ini gue dateng lagi mewartakan cerita
seru tentang topik yang gak akan jauh-jauh dari Sejarah. Bisa dibilang
mungkin hampir semua dari pembaca artikel blog ini adalah para pelajar
Indonesia yang sejak kecil belajar pelajaran sejarah sampe berbusa-busa
tentang jatuh-bangunnya kekuasaan politik maupun ekonomi di daerah
geografis yang sekarang ini kita namakan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dari sedemikian panjang rentang sejarah Indonesia yang lo
pelajari, pastinya gak asing dengan satu tema besar yang biasanya diberi
istilah "Masa Penjajahan Eropa di Indonesia" dong?
"Masa Penjajahan Eropa di Indonesia" yang kemungkinan besar selama ini
lo denger adalah sebuah masa yang dilukiskan ketika Indonesia mengalami
kekejaman panjang karena Indonesia dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa,
diambil kekayaan alamnya, diperbudak, didiskriminasi habis-habisan,
dirampas hak-nya, dlsb. Tapi betulkah seperti itu? Apakah bener
Indonesia itu dijajah sama Belanda 350 tahun? Apakah emang betul
bangsa-bangsa Eropa itu dateng buat menjajah tanah air kita yang kaya
dengan sumber daya alam?
Okay, pada artikel kali ini, gua mau kita kupas tuntas tentang buanyaak
pandangan-pandangan keliru seputar sejarah kependudukan Eropa di wilayan
Nusantara, yang sampai sekarang ini masih dipercaya secara umum di
Indonesia. Pandangan-pandangan keliru tentang sejarah kependudukan
bangsa Eropa di Indonesia ini, entah kenapa terus dipercaya dari
generasi ke generasi, disebutkan oleh orangtua, guru, pelajaran sekolah.
Sehingga gak heran kalau kekeliruan ini bahkan masih dipercaya oleh
mereka-mereka yang ngakunya sebagai kaum terpelajar.
Nah, sebagai para intelektual muda yang terpelajar, gua kepingin
mengajak lo untuk bareng-bareng mengevaluasi setiap informasi yang kita
dapatkan (kali ini terkait Sejarah bangsa kita sendiri lho!)
berlandaskan data dari berbagai macam sumber. Karena pada dasarnya, ilmu
apapun yang lo pelajari, jangan pernah ditelen mentah-mentah dari buku
pegangan pemerintah maupun dari omongan guru lo, tapi harus selalu juga
lo tengok dari perspektif lain. So, dalam artikel ini gua mau ngebahas
beberapa miskonsepsi/salah-kaprah/kekeliruan umum tentang sejarah
kependudukan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia. Yuk langsung aja kita
masuk ke bahasan seru kali ini Salah Kaprah #1
Indonesia Dijajah Portugis
Spoiler for Penjelasan #1:
Nah,
mungkin kebanyakan dari lo selama ini meyakini bahwa Portugis adalah
bangsa Eropa pertama yang dateng dan menjajah Indonesia. Nah, dalam
konteks ini, pertama-tama gua mau menekankan pada istilah “dijajah”, dan
juga “Indonesia” sebagai sebuah identitas politik. Pertama-tama,gue mau
nekenin bahwa sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus
tahun 1945, yang namanya “Indonesia” itu belum ada men!
Pada saat bangsa Portugis lagi main-main ke wilayah Kepulauan Nusantara,
dari tahun 1512 sampe 1575, yang ada tuh: Kesultanan Aceh, Kesultanan
Demak, Kerajaan Sunda (Pajajaran), Kesultanan Banten, Kesultanan Gowa,
dsb. Belum ada pikiran sama sekali dari kerajaan-kerajaan tersebut untuk
bersatu jadi sebuah entitas politik, apalagi bernama Indonesia. Jadi
apakah bangsa Portugis pernah menjajah Indonesia? Ya dalam konteks ini
jelas-jelas nggak dong, wong nama Indonesia aja belum ada. Yang lebih
tepat adalah Bangsa Portugis mendatangi wilayah yang kelak bernama
Indonesia ini, untuk ikut "main" dalam kancah perputaran ekonomi dan
perdagangan.
Terus ngapain juga coba Bangsa Portugis main jauh-jauh sampai ke kawasan kepulauan Asia Timur dan Asia Tenggara?
Nah sekarang kalo kita mau telaah apakah betul Portugis itu "menjajah"
wilayah Nusantara ini, kita perlu tau alesan sebetulnya kenapa bangsa
Portugis ini kok bisa nyasar sampai ke Kepulauan Asia Tenggara? Emang
niatnya buat ngejajah atau gimana?
Jadi gini cerita awal mulanya, jauh sebelum Bangsa Eropa melakukan
penjelajahan ke wilayah Asia, mereka udah bisa menikmati kekayaan alam
dari wilayah Asia, terutama rempah-rempah dari para pedagang Arab di
wilayah Eropa Selatan. Dalam kebudayaan Eropa, rempah-rempah dari Timur
yang selama ini dihadirkan oleh para pedagang Arab itu udah sangat
melekat jadi kebutuhan bangsa Eropa sebagai perpaduan jenis obat,
pengawet makanan, bumbu masakan, dan juga simbol status sosial.
Rempah-rempah jadi simbol status sosial? Iya beneran! Makanan pesta yang
kaya rasa akan rempah-rempah dari Timur (yang harganya selangit itu)
jadi salah satu indikator gengsi dan status sosial kaum ningrat Eropa.
Walaupun Bangsa Eropa udah menikmati kekayaan alam dari wilayah Asia,
mereka belum pernah tau secara persis sumber asalnya dari mana, mereka
juga gak pernah ambil pusing untuk pergi jauh-jauh dateng ke kawasan
tersebut karena jalur distribusi perdagangan jalan darat ke Eropa udah
oke dengan "perpanjangan tangan" dari India sampai ke Arab. Jadi
pengetahuan Bangsa Eropa tentang asal-usul rempah-rempah itu bisa
dibilang cuma samar-samar. Mereka hanya tau rempah-rempah itu berasal
dari kawasan kepulauan yang sangat jauh di wilayah Timur, tempat yang
begitu asing bagi mereka, begitu misterius dan rahasia.
Nah, situasi ekonomi dan jalur perdagangan rempah-rempah ke Eropa yang
aman dan nyaman selama ini berubah total gara-gara jalur dagang darat
ditutup oleh Kekhalifahan Utsmani, yang pada 29 Mei 1453 berhasil
ngerebut kota Konstantinopel (Istanbul-Turki) yang emang jadi pintu
masuk para pedagang dari timur buat jual tuh macem-macem rempah. Rempong
dooong jadinya! Karena kebutuhan rempah-rempah di Eropa tetap tinggi
dan persediaanya makin menipis, akhirnya Portugis dan Spanyol memutuskan
untuk cari jalan lain ke sumber rempah, yaitu melalui ekspedisi jalur
laut.
Ekspedisi demi ekspedisi dilaksanain sama para penjelajah yang dibiayain
dari kas Kerajaan Spanyol (Cristoforo Colombo dan Fernão de Magalhães),
dan Portugis (Dom Vasco da Gama, dan Bartolomeu Dias). Singkat kata
singkat cerita, Affonso de Albuquerque (dibaca: Affoonsow Jabukéérki)
berhasil nguasain Malaka (Februari 1511) dan mulai mengetahui tempat
“rahasia” penghasil rempah paling mahal, yaitu Pulau Ambon (cengkeh),
dan Pulau Banda (pala).
Portadesantiago Sisa reruntuhan benteng Portugis A Famosa di Malaka (wilayah Malaysia)
Sejak saat itulah Portugis menjadi salah satu pemain baru dalam
perekonomian dan perdagangan kawasan Timur Nusantara sampai akhirnya
tahun 1575 Portugis mutusin buat ninggalin monopoli di Nusantara ke
daerah Tiongkok dan Jepang karena wilayah Nusantara ini dinilai ga
strategis, kegedean, dan terlalu banyak persaingan dari pedangang lokal
maupun pedagang internasional.
Udah deh gitu doang pengaruh Portugis yang sempet mampir "sebentar" ke
wilayah kepulauan Asia Tenggara. Secara geografis, Portugis hanya pernah
menguasai jalur perdagangan Malaka dan Pulau Timor bagian timur (yang
notabene secara politis terletak di luar wilayah Negara Indonesia). Hal
paling signifikan yang dilakukan oleh Portugis hanyalah ikut bermain
dalam tatanan perdagangan Nusantara yang sebelumnya bebas menjadi
dimonopoli oleh pihak Eropa, serta penyebaran agama Katolik di bagian
timur wilayah Nusantara. Jadi kalo gua balik lagi ke pertanyaan: apakah
tepat kalo kita sebut Portugis pernah menjajah Indonesia? Coba lo
simpulkan dan evaluasi lagi berdasarkan berbagai sumber yah
Salah Kaprah #2
Indonesia Dijajah Belanda Selama 350 Tahun
Spoiler for Penjelasan #2:
Oke,
mungkin lo udah seriiing banget denger istilah " Dulu kita dijajah sama
Belanda selama 350 tahun! Terus setelah merdeka kita dijajah sama
bangsa sendiri". Nah sekarang balik lagi nih ke pertanyaan semula, emang
bener yah Belanda ngejajah Indonesia selama tiga setengah abad? Belum
lagi kata "menjajah" itu sendiri identik dengan kekejaman, kerja paksa,
perbudakan, dlsb. Apakah betul emang dulu Indonesia mengalami
penderitaan selama itu? Yuk kita bahas dulu!
Round_Table_Conference Konferensi Meja Bundar Den Haag: August 23 - November 2, 1949
Pertama-tama, kita telusuri dulu kapan sih ada orang Belanda nongol
pertama kali di kepulauan ini? Oke, dari sumber sejarah yang selama ini
kita ketahuin kan namanya si Cornelis de Houtman tuh, yang pertama kali
nyampe ke Banten pada tanggal 27 Juni 1596. Kalo aja penjajahan Belanda
dianggep berakhir pas tahun 1949, pas ditandatanganinnya Konferensi Meja
Bundar, berarti emang bener orang Belanda udah menjejakkan kaki di
Indonesia selama 353 tahun. Tapi bisa dibilang tepat ga tuh? Seperti
yang elo semua ketahuin, de Houtman dateng ke Kepulauan Nusantara
sebagai penjelajah, bukan penjajah. Bahkan Perusahaan Perserikatan
Hindia Timur atau Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC) aja belom
didiriin pas dia berlabuh di Banten untuk pertama kali. Jadinya moment
pas pertama kali de Houtman dateng ke wilayan Nusantara itu ga tepat
dong kalo dibilang “ngejajah”.
Terus klo diambil dari tahun berdirinya VOC gimana? VOC didiriin sejak
1602, enam tahun setelah ekspedisi de Houtman berhasil membukakan jalan
bagi penjelajah Belanda untuk melakukan aktivitas perdagangan di
Kepulauan Nusantara. Kalo kita itung sampe KMB, 1949, berarti total 347
tahun. Yaah hampir lah. Eitttss tapi jangan sampe lo lupa nih, VOC itu
beda dengan Negeri Belanda. VOC tuh bukan negara men, tapi cuma nama
satu perusahaan doang. Kerjaan VOC itu bukannya nguasain daerah, tapi
nguasain perdagangan regional di Hindia Timur. Ibaratnya kalau jaman
sekarang industri otomotif kita dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, Yamaha, dll, itu bukan berarti
negara kita dijajah sama Jepang kan?
Walaupun VOC dibekali hak yg kita kenal sebagai “Hak Oktroi” atau hak
istimewa yang ngebolehin mereka bikin benteng, punya tentara, berhak
berdiplomasi, dsb, tetep aja mereka intinya sebuah perusahaan yang punya
dewan komisaris (Heeren Zeventien) dan direktur utama (Gubernur
Jenderal), bukanlah mewakili sebuah negara Belanda. Jadi dalam konteks
“Indonesia dijajah 350 tahun sama Belanda”, pendirian VOC juga bukanlah
momentum yang tepat, karena sekali lagi VOC itu cuma satu perusahaan
dagang doang, bukanlah negara Belanda.
VOC2Dalam konteks "menguasai" bisa dibilang VOC ga punya wilayah di
Kepulauan Nusantara, selain Batavia dibangun sama Jan Pieterszoon Coen
dari reruntuhan bandar Jayakarta. Secara garis besar peran VOC dalam
wilayan Nusantara ini hanyalah hak monopoli dagang, yang bikin mereka
dianggap sebagai “penguasa” lokal. Tapi kalau dalam konteks "menguasai"
teritori politik, raja-raja lokal di Nusantara masih punya kekuasaan
penuh sama daerahnya. Daaaan, yang paling penting, daerah operasi VOC
tuh ga seluas wilayah NKRI sekarang lho. Cuma terbatas di Batavia
sebagai markas, Banten sebagai salah satu pelabuhan utama, Ambon-Banda
sebagai daerah penghasil cengkeh dan pala, Makassar dan sekitarnya untuk
mengamankan jalur pengiriman rempah, dan Priangan (Jawa Barat), sebagai
tempat penanaman tanaman secara massal (Preanger stelsel). Selain itu?
Sebagian besar wilayah yang sekarang ini bernama Indonesia, masih
dikuasain raja masing-masing (Sultan Aceh, Sultan Mataram, Sultan Gowa,
Sultan Palembang, Sultan Banjar, dan Raja-raja Bali).
Okay, jadi apakah Negara Belanda sebetulnya gak pernah menjajah
Indonesia? Apakah justru jangan-jangan selama ini Indonesia malah
dijajah cuma sama satu perusahaan bernama VOC doang?
Terus jadinya kapan sih bener-bener dijajah sama Negeri Belanda? Seperti
yang kita ketahuin bersama, VOC akhirnya dibubarin tahun 1799 oleh
pemerintahan Republik Batavia (nama Negeri Belanda pas itu), dan diambil
alih langsung sama pemerintahan republik sejak 1800. Sejak 1800 itulah
nama daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan VOC diganti jadi
Nederlands Indie atau Dutch East Indies (dalam Bahasa Indonesia disebut
Hindia Belanda). Dan ini pun ga serta-merta menjajah seluruh Indonesia
yah. Dengan serangkaian perang dari tahun 1800 sampe tahun 1914, barulah
Belanda bisa nguasain hampir seluruh daerah Indonesia sekarang (kecuali
bagian dalam Kalimantan, dan pedalaman Papua Barat). Jadi yaa, yang
bener itu Negara Belanda ngejajah Indonesia cuma dari 1914 - 1949,
dengan masa istirahat karena penguasaan Jepang sejak 1942 - 1945. Daan,
totalnya berarti cuma 1949 - 1914 - 3 = 32 tahun!
Terus gimana ceritanya tuh muncul istilah dijajah sama Belanda selama 350 tahun?
Selidik punya selidik, pandangan ini nih bermula ketika Gubernur
Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge yang dulu jadi pimpinan di Hindia
Belanda sejak 1931 berpidato di depan masyarakat Batavia sambil
nyebutin: “Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg
minstens 300 jaar blijven”, yang artinya kira2: “Belanda udah ada di
sini sejak 300 taun yang lalu, dan tetep bakal ada di mari 300 taun ke
depan!”. Udah tentu doong, klo diliat dari tahun pas dia mimpin, pidato
ini sengaja ditujuin buat bikin jiper para tokoh-tokoh pergerakan
nasional yang lagi semangat-semangatnya menggalang kekuatan rakyat
nusantara. Hehehe. Jadi sekarang masih mau percaya omongan Gubernur
Jenderal de Jonge atau fakta sejarah?:
Salah Kaprah #3
Siasat Divide et Impera Untuk Memecah Belah Bangsa
Spoiler for Penjelasan #3:
Buat
lo yang gak tau divide et impera, itu bukan nama mantra sihir dalam
Harry Potter yah. Divide et Impera itu sebuah taktik politis "adu domba"
untuk memecah belah sebuah wilayah besar, hingga akhirnya terpecah jadi
beberapa bagian kecil, untuk kemudian lebih mudah dikuasai. Nah, dalam
konteks ini banyak orang yang masih berpikir bahwa para "penjajah dari
Eropa" ini, dengan liciknya menggunakan taktik divide et impera untuk
memecah belah rakyat Indonesia.
Nah, sekarang pertanyaan gua adalah : Rakyat Indonesia yang mana yang
dimaksud? Tapi kenapa istilah “divide et impera” ini bener-bener santer
banget yah didengungin sejak kita kecil? Dalam konteks ini, gua gak
sepakat dengan pernyataan bahwa siasat ini sering digunakan untuk
memecah belah rakyat Indonesia. Alesannya ya simpel, lagi-lagi ya karena
pas jaman segitu emang belum ada rakyat Indonesia yang bersatu!
Boro-boro kenal istilah Indonesia, ngerasa sebagai satu kesatuan aja ga
ada. Kita yang lahir setelah kondisi politik di Indonesia dan dunia ini
relatif stabil emang biasanya susah untuk mandang bahwa seratus tahun
yang lalu itu, kondisi geopolitis di dunia ini ga kaya sekarang gini.
Apalagi 300 tahun lalu dong, pas VOC mulai menancapkan pengaruh
perdagangannya di Kepulauan Nusantara. Mana ada yang disebut “persatuan
Indonesia”.
Pertanyaannya sekarang, apakah waktu Kesultanan Banten sedang perang
dengan Kesultanan Palembang di akhir abad 16 dan awal abad 17, VOC
melakukan divide et impera? Ya nggak, kedua kerajaan itu emang kepisah
kok. Apanya yang pecah-belah? apanya yang diadu-domba? Pas Kaum Adat dan
Kaum Paderi saling perang, apakah Belanda melakukan divide et impera?
Ya nggak, kedua kaum itu emang kepecah sebelum Belanda ngelakuin
intervensi demi mengamankan aset-asetnya di Sumatera Barat. Ketika Bone
ingin melepaskan diri dari “penjajahan” Kesultanan Gowa, apakah Belanda
melakukan siasat divide et impera? Lagi-lagi nggak, karena emang dua
entitas kerajaan itu emang selalu berseteru. Alih-alih ngelakuin divide
et impera, VOC dan Hindia Belanda lebih bersifat sebagai katalis dalam
semua konflik yang ada di Kepulauan Nusantara waktu itu. Keberpihakan
Belanda sangat menentukan pihak mana yang akhirnya menang perang.
Tapi apakah Belanda ga pernah sama sekali melakukan siasat divide et
impera selama berkuasa di Nusantara? Nah, khusus hal ini, emang pernah
kejadian beberapa kali. Tapi untuk jangka waktu kependudukan ratusan
tahun, siasat ini bisa dibilang jarang banget dipakai, yaitu cuman tiga
kali:
-
Sewaktu ngebelah Kesultanan Mataram jadi 4 bagian, Kesultanan
Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, Puri Mangkunegaran, dan Puri
Pakualaman, pada perjanjian Giyanti, 13 Pebruari 1755. Walaupun ini juga
ga bisa dibilang Belanda yang punya niat. Para pangeran-pangeran
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dan Sambernyawa (Sri Mangkunegara
I) emang awalnya ngeberontak sama Sunan Pakubuwana III sebagai raja
Mataram yang sah, dan Sambernyawa ga pernah dilibatin sama proses
penyusunan Perjanjian Giyanti.
- Sewaktu
Snouck Hurgronje memetakan pola sosiologis masyarakat Aceh, yang sangat
berguna buat memecah belah masyarakat Aceh dan ujung-ujungnya menangin
perang Aceh yang mana Belanda ga menang-menang dan udah rugi banyak
secara finansial.
- Sewaktu
pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang Indische
Staatsregeling (ISR) pada tahun 1926. Pasal 163 dalam undang-undang
tersebut nyebutin bahwa warga Hindia Belanda dibagi jadi tiga golongan,
yaitu
1) golongan Eropa dan Jepang,
2) golongan Timur Asing, serta
3) golongan Bumiputera.
Oke, jadinya sekarang ngerti dong yah, bahwa ga setiap tindak-tanduk VOC
dan Hindia Belanda selama di Nusantara ini bersifat divide et impera.
Buat lebih jelasnya lagi, mungkin bisa lo telusurin artikel-artikel
menarik tentang divide et impera (atau divide and rule) di berbagai
sumber.
Salah Kaprah #4
Penjajah Eropa Menyengsarakan
Spoiler for #4:
Jika
kita bicara tentang kependudukan bangsa Eropa di daerah kepulauan
Nusantara ini, kemungkinan yang terbersit di kepala lo adalah hal-hal
negatif yang dialami "bangsa Indonesia" pra-kemerdekaan. Katakanlah,
sepotong cerita tentang kediktatoran Herman Willem Daendels, seorang
gubernur jendral Hindia Belanda tahun 1808-1811 yang seringkali
dicitrakan sebagai manifestasi dari kekejaman. Mulai dari kerja rodi
lah, pembangunan jalan raya Daendels yang ngabisin ribuan nyawa lah,
sampe sistem pengadilan kelilingnya yang ga pandang bulu main
hukum-hukum aja orang-orang pribumi yang bersalah. Tapi masalahnya,
apakah jika kepemerintahan Daendels yang sewenang-wenang ini seolah-olah
merefleksikan hubungan dari kependudukan Bangsa Eropa di wilayah
Nusantara selama ratusan tahun? Sementara di sisi lain, kita mengenal
Sir Thomas Stanford Raffles yang seringkali dielu-elukan karena karyanya
dalam membangun Kebun Raya Bogor, nemuin Candi Borobudur, nemuin bunga
Rafflesia Arnoldi, pengubahan sistem pengelolaan tanah (landrente) yang
lebih nguntungin kaum pribumi yang punya tanah, dsb.
borobudur-temple-05 Penemuan dan pembangunan kembali Candi Borobudur
Dalam konteks ini, sebetulnya gua pengin lo semua melihat jaman
kependudukan bangsa Eropa di wilayah kepulauan Nusantara dari sisi yang
lain, bukan serta-merta kulit luar yang dengan gampangnya men-cap
keterlibatan Bangsa Eropa dalam sejarah Indonesia pra-kemerdekaan
sebagai "bangsa penjajah, kumpeni, diktator, pengeruk kekayaan negeri,
penyengsara rakyat, dan semacamnya". Sebaliknya, ada banyak banget
warisan dari bangsa Eropa, baik Belanda maupun Inggris yang manfaatnya
masih terasa sampai sekarang ini. Yang bahkan bisa dibilang, peran serta
mereka selama ratusan tahun, berkontribusi banyak dalam membangun
karakter dan tatanan fundamental dari Bangsa Indonesia.
Contohnya dari mulai hal yang paling sederhana, yaitu pembangunan secara
fisik deh, seperti infrastruktur sipil, rumah, jembatan, kanal. Jalan
Raya Daendels, rel kereta sepanjang Pulau Jawa, Sumetera, Sulawesi, dll.
Pendidikan K12 (12 tahun ajaran) yang hampir semua lo alami sendiri
dari SD - SMP - SMA yang merupakan adaptasi dari HIS - MULO - AMS yang
relatif bebas untuk semua kalangan (tanpa batasan sistem kasta seperti
yg dialami India yang dijajah Inggris). Belum lagi dari segi hukum,
mungkin selama ini lo gak sadar kalo kita mewarisi sistem peradilan dan
kodeks Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) juga dari Belanda. Dari
tatanan administrasi politik, kita juga berhutang-budi pada Belanda
mempercayakan para bangsawan untuk jadi pemimpin residen, yang akhirnya
kita kenal sekarang dengan istilah Kabupaten.
800px-Java_Great_Post_Road.svg Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) yang
dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels
Terakhir adalah hal yang paling penting dari semuanya adalah: rasa
kebersatuan kita sebagai satu wilayah geografis yang akhirnya bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalo bukan karena hubungan dagang,
ekonomi, serta tatanan sosial yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa
selama ratusan tahun, bisa jadi Negara bernama Indonesia tidak pernah
terbentuk. Atau mungkin wilayah geografis kepulauan dari Sabang sampai
Merauke yang kita sekarang kita kenal bernama Indonesia ini malah
terbentuk menjadi beberapa negara sendiri-sendiri, bisa-bisa yang muncul
tuh Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Jawa Mataram, Republik
Banten, Republik Demokratik Borneo, Republik Rakyat Tapanuli, dll. Nah
lho, apa lo pernah kepikiran hal itu sebelumnya? Jadi kalo kita kembali
pada pernyataan bahwa "Bangsa Eropa menjajah Indonesia dan
menyengsarakan rakyat Indonesia selama ratusan tahun" itu terlalu cetek
banget yah. Pengalaman para leluhur kita dengan bangsa Eropa selama
ratusan tahun sangatlah dinamis dan juga kompleks, rasa-rasanya naif
sekali kalau kita menyimpulkan fakta sejarah hanya dari satu atau dua
sisi saja. Makanya kita perlu terus mengkaji serta mengevaluasi
pemahaman kita akan segala sesuatu, termasuk juga tentang sejarah negara
kita sendiri.
Spoiler for Penjelasan #1:
Nah,
mungkin kebanyakan dari lo selama ini meyakini bahwa Portugis adalah
bangsa Eropa pertama yang dateng dan menjajah Indonesia. Nah, dalam
konteks ini, pertama-tama gua mau menekankan pada istilah “dijajah”, dan
juga “Indonesia” sebagai sebuah identitas politik. Pertama-tama,gue mau
nekenin bahwa sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus
tahun 1945, yang namanya “Indonesia” itu belum ada men!
Pada saat bangsa Portugis lagi main-main ke wilayah Kepulauan Nusantara, dari tahun 1512 sampe 1575, yang ada tuh: Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kerajaan Sunda (Pajajaran), Kesultanan Banten, Kesultanan Gowa, dsb. Belum ada pikiran sama sekali dari kerajaan-kerajaan tersebut untuk bersatu jadi sebuah entitas politik, apalagi bernama Indonesia. Jadi apakah bangsa Portugis pernah menjajah Indonesia? Ya dalam konteks ini jelas-jelas nggak dong, wong nama Indonesia aja belum ada. Yang lebih tepat adalah Bangsa Portugis mendatangi wilayah yang kelak bernama Indonesia ini, untuk ikut "main" dalam kancah perputaran ekonomi dan perdagangan.
Terus ngapain juga coba Bangsa Portugis main jauh-jauh sampai ke kawasan kepulauan Asia Timur dan Asia Tenggara?
Nah sekarang kalo kita mau telaah apakah betul Portugis itu "menjajah" wilayah Nusantara ini, kita perlu tau alesan sebetulnya kenapa bangsa Portugis ini kok bisa nyasar sampai ke Kepulauan Asia Tenggara? Emang niatnya buat ngejajah atau gimana?
Jadi gini cerita awal mulanya, jauh sebelum Bangsa Eropa melakukan penjelajahan ke wilayah Asia, mereka udah bisa menikmati kekayaan alam dari wilayah Asia, terutama rempah-rempah dari para pedagang Arab di wilayah Eropa Selatan. Dalam kebudayaan Eropa, rempah-rempah dari Timur yang selama ini dihadirkan oleh para pedagang Arab itu udah sangat melekat jadi kebutuhan bangsa Eropa sebagai perpaduan jenis obat, pengawet makanan, bumbu masakan, dan juga simbol status sosial. Rempah-rempah jadi simbol status sosial? Iya beneran! Makanan pesta yang kaya rasa akan rempah-rempah dari Timur (yang harganya selangit itu) jadi salah satu indikator gengsi dan status sosial kaum ningrat Eropa.
Walaupun Bangsa Eropa udah menikmati kekayaan alam dari wilayah Asia, mereka belum pernah tau secara persis sumber asalnya dari mana, mereka juga gak pernah ambil pusing untuk pergi jauh-jauh dateng ke kawasan tersebut karena jalur distribusi perdagangan jalan darat ke Eropa udah oke dengan "perpanjangan tangan" dari India sampai ke Arab. Jadi pengetahuan Bangsa Eropa tentang asal-usul rempah-rempah itu bisa dibilang cuma samar-samar. Mereka hanya tau rempah-rempah itu berasal dari kawasan kepulauan yang sangat jauh di wilayah Timur, tempat yang begitu asing bagi mereka, begitu misterius dan rahasia.
Nah, situasi ekonomi dan jalur perdagangan rempah-rempah ke Eropa yang aman dan nyaman selama ini berubah total gara-gara jalur dagang darat ditutup oleh Kekhalifahan Utsmani, yang pada 29 Mei 1453 berhasil ngerebut kota Konstantinopel (Istanbul-Turki) yang emang jadi pintu masuk para pedagang dari timur buat jual tuh macem-macem rempah. Rempong dooong jadinya! Karena kebutuhan rempah-rempah di Eropa tetap tinggi dan persediaanya makin menipis, akhirnya Portugis dan Spanyol memutuskan untuk cari jalan lain ke sumber rempah, yaitu melalui ekspedisi jalur laut.
Ekspedisi demi ekspedisi dilaksanain sama para penjelajah yang dibiayain dari kas Kerajaan Spanyol (Cristoforo Colombo dan Fernão de Magalhães), dan Portugis (Dom Vasco da Gama, dan Bartolomeu Dias). Singkat kata singkat cerita, Affonso de Albuquerque (dibaca: Affoonsow Jabukéérki) berhasil nguasain Malaka (Februari 1511) dan mulai mengetahui tempat “rahasia” penghasil rempah paling mahal, yaitu Pulau Ambon (cengkeh), dan Pulau Banda (pala).
Portadesantiago Sisa reruntuhan benteng Portugis A Famosa di Malaka (wilayah Malaysia)
Sejak saat itulah Portugis menjadi salah satu pemain baru dalam perekonomian dan perdagangan kawasan Timur Nusantara sampai akhirnya tahun 1575 Portugis mutusin buat ninggalin monopoli di Nusantara ke daerah Tiongkok dan Jepang karena wilayah Nusantara ini dinilai ga strategis, kegedean, dan terlalu banyak persaingan dari pedangang lokal maupun pedagang internasional.
Udah deh gitu doang pengaruh Portugis yang sempet mampir "sebentar" ke wilayah kepulauan Asia Tenggara. Secara geografis, Portugis hanya pernah menguasai jalur perdagangan Malaka dan Pulau Timor bagian timur (yang notabene secara politis terletak di luar wilayah Negara Indonesia). Hal paling signifikan yang dilakukan oleh Portugis hanyalah ikut bermain dalam tatanan perdagangan Nusantara yang sebelumnya bebas menjadi dimonopoli oleh pihak Eropa, serta penyebaran agama Katolik di bagian timur wilayah Nusantara. Jadi kalo gua balik lagi ke pertanyaan: apakah tepat kalo kita sebut Portugis pernah menjajah Indonesia? Coba lo simpulkan dan evaluasi lagi berdasarkan berbagai sumber yah
Pada saat bangsa Portugis lagi main-main ke wilayah Kepulauan Nusantara, dari tahun 1512 sampe 1575, yang ada tuh: Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kerajaan Sunda (Pajajaran), Kesultanan Banten, Kesultanan Gowa, dsb. Belum ada pikiran sama sekali dari kerajaan-kerajaan tersebut untuk bersatu jadi sebuah entitas politik, apalagi bernama Indonesia. Jadi apakah bangsa Portugis pernah menjajah Indonesia? Ya dalam konteks ini jelas-jelas nggak dong, wong nama Indonesia aja belum ada. Yang lebih tepat adalah Bangsa Portugis mendatangi wilayah yang kelak bernama Indonesia ini, untuk ikut "main" dalam kancah perputaran ekonomi dan perdagangan.
Terus ngapain juga coba Bangsa Portugis main jauh-jauh sampai ke kawasan kepulauan Asia Timur dan Asia Tenggara?
Nah sekarang kalo kita mau telaah apakah betul Portugis itu "menjajah" wilayah Nusantara ini, kita perlu tau alesan sebetulnya kenapa bangsa Portugis ini kok bisa nyasar sampai ke Kepulauan Asia Tenggara? Emang niatnya buat ngejajah atau gimana?
Jadi gini cerita awal mulanya, jauh sebelum Bangsa Eropa melakukan penjelajahan ke wilayah Asia, mereka udah bisa menikmati kekayaan alam dari wilayah Asia, terutama rempah-rempah dari para pedagang Arab di wilayah Eropa Selatan. Dalam kebudayaan Eropa, rempah-rempah dari Timur yang selama ini dihadirkan oleh para pedagang Arab itu udah sangat melekat jadi kebutuhan bangsa Eropa sebagai perpaduan jenis obat, pengawet makanan, bumbu masakan, dan juga simbol status sosial. Rempah-rempah jadi simbol status sosial? Iya beneran! Makanan pesta yang kaya rasa akan rempah-rempah dari Timur (yang harganya selangit itu) jadi salah satu indikator gengsi dan status sosial kaum ningrat Eropa.
Walaupun Bangsa Eropa udah menikmati kekayaan alam dari wilayah Asia, mereka belum pernah tau secara persis sumber asalnya dari mana, mereka juga gak pernah ambil pusing untuk pergi jauh-jauh dateng ke kawasan tersebut karena jalur distribusi perdagangan jalan darat ke Eropa udah oke dengan "perpanjangan tangan" dari India sampai ke Arab. Jadi pengetahuan Bangsa Eropa tentang asal-usul rempah-rempah itu bisa dibilang cuma samar-samar. Mereka hanya tau rempah-rempah itu berasal dari kawasan kepulauan yang sangat jauh di wilayah Timur, tempat yang begitu asing bagi mereka, begitu misterius dan rahasia.
Nah, situasi ekonomi dan jalur perdagangan rempah-rempah ke Eropa yang aman dan nyaman selama ini berubah total gara-gara jalur dagang darat ditutup oleh Kekhalifahan Utsmani, yang pada 29 Mei 1453 berhasil ngerebut kota Konstantinopel (Istanbul-Turki) yang emang jadi pintu masuk para pedagang dari timur buat jual tuh macem-macem rempah. Rempong dooong jadinya! Karena kebutuhan rempah-rempah di Eropa tetap tinggi dan persediaanya makin menipis, akhirnya Portugis dan Spanyol memutuskan untuk cari jalan lain ke sumber rempah, yaitu melalui ekspedisi jalur laut.
Ekspedisi demi ekspedisi dilaksanain sama para penjelajah yang dibiayain dari kas Kerajaan Spanyol (Cristoforo Colombo dan Fernão de Magalhães), dan Portugis (Dom Vasco da Gama, dan Bartolomeu Dias). Singkat kata singkat cerita, Affonso de Albuquerque (dibaca: Affoonsow Jabukéérki) berhasil nguasain Malaka (Februari 1511) dan mulai mengetahui tempat “rahasia” penghasil rempah paling mahal, yaitu Pulau Ambon (cengkeh), dan Pulau Banda (pala).
Portadesantiago Sisa reruntuhan benteng Portugis A Famosa di Malaka (wilayah Malaysia)
Sejak saat itulah Portugis menjadi salah satu pemain baru dalam perekonomian dan perdagangan kawasan Timur Nusantara sampai akhirnya tahun 1575 Portugis mutusin buat ninggalin monopoli di Nusantara ke daerah Tiongkok dan Jepang karena wilayah Nusantara ini dinilai ga strategis, kegedean, dan terlalu banyak persaingan dari pedangang lokal maupun pedagang internasional.
Udah deh gitu doang pengaruh Portugis yang sempet mampir "sebentar" ke wilayah kepulauan Asia Tenggara. Secara geografis, Portugis hanya pernah menguasai jalur perdagangan Malaka dan Pulau Timor bagian timur (yang notabene secara politis terletak di luar wilayah Negara Indonesia). Hal paling signifikan yang dilakukan oleh Portugis hanyalah ikut bermain dalam tatanan perdagangan Nusantara yang sebelumnya bebas menjadi dimonopoli oleh pihak Eropa, serta penyebaran agama Katolik di bagian timur wilayah Nusantara. Jadi kalo gua balik lagi ke pertanyaan: apakah tepat kalo kita sebut Portugis pernah menjajah Indonesia? Coba lo simpulkan dan evaluasi lagi berdasarkan berbagai sumber yah
Spoiler for Penjelasan #2:
Oke,
mungkin lo udah seriiing banget denger istilah " Dulu kita dijajah sama
Belanda selama 350 tahun! Terus setelah merdeka kita dijajah sama
bangsa sendiri". Nah sekarang balik lagi nih ke pertanyaan semula, emang
bener yah Belanda ngejajah Indonesia selama tiga setengah abad? Belum
lagi kata "menjajah" itu sendiri identik dengan kekejaman, kerja paksa,
perbudakan, dlsb. Apakah betul emang dulu Indonesia mengalami
penderitaan selama itu? Yuk kita bahas dulu!
Round_Table_Conference Konferensi Meja Bundar Den Haag: August 23 - November 2, 1949
Pertama-tama, kita telusuri dulu kapan sih ada orang Belanda nongol pertama kali di kepulauan ini? Oke, dari sumber sejarah yang selama ini kita ketahuin kan namanya si Cornelis de Houtman tuh, yang pertama kali nyampe ke Banten pada tanggal 27 Juni 1596. Kalo aja penjajahan Belanda dianggep berakhir pas tahun 1949, pas ditandatanganinnya Konferensi Meja Bundar, berarti emang bener orang Belanda udah menjejakkan kaki di Indonesia selama 353 tahun. Tapi bisa dibilang tepat ga tuh? Seperti yang elo semua ketahuin, de Houtman dateng ke Kepulauan Nusantara sebagai penjelajah, bukan penjajah. Bahkan Perusahaan Perserikatan Hindia Timur atau Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC) aja belom didiriin pas dia berlabuh di Banten untuk pertama kali. Jadinya moment pas pertama kali de Houtman dateng ke wilayan Nusantara itu ga tepat dong kalo dibilang “ngejajah”.
Terus klo diambil dari tahun berdirinya VOC gimana? VOC didiriin sejak 1602, enam tahun setelah ekspedisi de Houtman berhasil membukakan jalan bagi penjelajah Belanda untuk melakukan aktivitas perdagangan di Kepulauan Nusantara. Kalo kita itung sampe KMB, 1949, berarti total 347 tahun. Yaah hampir lah. Eitttss tapi jangan sampe lo lupa nih, VOC itu beda dengan Negeri Belanda. VOC tuh bukan negara men, tapi cuma nama satu perusahaan doang. Kerjaan VOC itu bukannya nguasain daerah, tapi nguasain perdagangan regional di Hindia Timur. Ibaratnya kalau jaman sekarang industri otomotif kita dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, Yamaha, dll, itu bukan berarti negara kita dijajah sama Jepang kan?
Walaupun VOC dibekali hak yg kita kenal sebagai “Hak Oktroi” atau hak istimewa yang ngebolehin mereka bikin benteng, punya tentara, berhak berdiplomasi, dsb, tetep aja mereka intinya sebuah perusahaan yang punya dewan komisaris (Heeren Zeventien) dan direktur utama (Gubernur Jenderal), bukanlah mewakili sebuah negara Belanda. Jadi dalam konteks “Indonesia dijajah 350 tahun sama Belanda”, pendirian VOC juga bukanlah momentum yang tepat, karena sekali lagi VOC itu cuma satu perusahaan dagang doang, bukanlah negara Belanda.
VOC2Dalam konteks "menguasai" bisa dibilang VOC ga punya wilayah di Kepulauan Nusantara, selain Batavia dibangun sama Jan Pieterszoon Coen dari reruntuhan bandar Jayakarta. Secara garis besar peran VOC dalam wilayan Nusantara ini hanyalah hak monopoli dagang, yang bikin mereka dianggap sebagai “penguasa” lokal. Tapi kalau dalam konteks "menguasai" teritori politik, raja-raja lokal di Nusantara masih punya kekuasaan penuh sama daerahnya. Daaaan, yang paling penting, daerah operasi VOC tuh ga seluas wilayah NKRI sekarang lho. Cuma terbatas di Batavia sebagai markas, Banten sebagai salah satu pelabuhan utama, Ambon-Banda sebagai daerah penghasil cengkeh dan pala, Makassar dan sekitarnya untuk mengamankan jalur pengiriman rempah, dan Priangan (Jawa Barat), sebagai tempat penanaman tanaman secara massal (Preanger stelsel). Selain itu? Sebagian besar wilayah yang sekarang ini bernama Indonesia, masih dikuasain raja masing-masing (Sultan Aceh, Sultan Mataram, Sultan Gowa, Sultan Palembang, Sultan Banjar, dan Raja-raja Bali).
Okay, jadi apakah Negara Belanda sebetulnya gak pernah menjajah Indonesia? Apakah justru jangan-jangan selama ini Indonesia malah dijajah cuma sama satu perusahaan bernama VOC doang?
Terus jadinya kapan sih bener-bener dijajah sama Negeri Belanda? Seperti yang kita ketahuin bersama, VOC akhirnya dibubarin tahun 1799 oleh pemerintahan Republik Batavia (nama Negeri Belanda pas itu), dan diambil alih langsung sama pemerintahan republik sejak 1800. Sejak 1800 itulah nama daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan VOC diganti jadi Nederlands Indie atau Dutch East Indies (dalam Bahasa Indonesia disebut Hindia Belanda). Dan ini pun ga serta-merta menjajah seluruh Indonesia yah. Dengan serangkaian perang dari tahun 1800 sampe tahun 1914, barulah Belanda bisa nguasain hampir seluruh daerah Indonesia sekarang (kecuali bagian dalam Kalimantan, dan pedalaman Papua Barat). Jadi yaa, yang bener itu Negara Belanda ngejajah Indonesia cuma dari 1914 - 1949, dengan masa istirahat karena penguasaan Jepang sejak 1942 - 1945. Daan, totalnya berarti cuma 1949 - 1914 - 3 = 32 tahun!
Terus gimana ceritanya tuh muncul istilah dijajah sama Belanda selama 350 tahun?
Selidik punya selidik, pandangan ini nih bermula ketika Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge yang dulu jadi pimpinan di Hindia Belanda sejak 1931 berpidato di depan masyarakat Batavia sambil nyebutin: “Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg minstens 300 jaar blijven”, yang artinya kira2: “Belanda udah ada di sini sejak 300 taun yang lalu, dan tetep bakal ada di mari 300 taun ke depan!”. Udah tentu doong, klo diliat dari tahun pas dia mimpin, pidato ini sengaja ditujuin buat bikin jiper para tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lagi semangat-semangatnya menggalang kekuatan rakyat nusantara. Hehehe. Jadi sekarang masih mau percaya omongan Gubernur Jenderal de Jonge atau fakta sejarah?:
Round_Table_Conference Konferensi Meja Bundar Den Haag: August 23 - November 2, 1949
Pertama-tama, kita telusuri dulu kapan sih ada orang Belanda nongol pertama kali di kepulauan ini? Oke, dari sumber sejarah yang selama ini kita ketahuin kan namanya si Cornelis de Houtman tuh, yang pertama kali nyampe ke Banten pada tanggal 27 Juni 1596. Kalo aja penjajahan Belanda dianggep berakhir pas tahun 1949, pas ditandatanganinnya Konferensi Meja Bundar, berarti emang bener orang Belanda udah menjejakkan kaki di Indonesia selama 353 tahun. Tapi bisa dibilang tepat ga tuh? Seperti yang elo semua ketahuin, de Houtman dateng ke Kepulauan Nusantara sebagai penjelajah, bukan penjajah. Bahkan Perusahaan Perserikatan Hindia Timur atau Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC) aja belom didiriin pas dia berlabuh di Banten untuk pertama kali. Jadinya moment pas pertama kali de Houtman dateng ke wilayan Nusantara itu ga tepat dong kalo dibilang “ngejajah”.
Terus klo diambil dari tahun berdirinya VOC gimana? VOC didiriin sejak 1602, enam tahun setelah ekspedisi de Houtman berhasil membukakan jalan bagi penjelajah Belanda untuk melakukan aktivitas perdagangan di Kepulauan Nusantara. Kalo kita itung sampe KMB, 1949, berarti total 347 tahun. Yaah hampir lah. Eitttss tapi jangan sampe lo lupa nih, VOC itu beda dengan Negeri Belanda. VOC tuh bukan negara men, tapi cuma nama satu perusahaan doang. Kerjaan VOC itu bukannya nguasain daerah, tapi nguasain perdagangan regional di Hindia Timur. Ibaratnya kalau jaman sekarang industri otomotif kita dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki, Yamaha, dll, itu bukan berarti negara kita dijajah sama Jepang kan?
Walaupun VOC dibekali hak yg kita kenal sebagai “Hak Oktroi” atau hak istimewa yang ngebolehin mereka bikin benteng, punya tentara, berhak berdiplomasi, dsb, tetep aja mereka intinya sebuah perusahaan yang punya dewan komisaris (Heeren Zeventien) dan direktur utama (Gubernur Jenderal), bukanlah mewakili sebuah negara Belanda. Jadi dalam konteks “Indonesia dijajah 350 tahun sama Belanda”, pendirian VOC juga bukanlah momentum yang tepat, karena sekali lagi VOC itu cuma satu perusahaan dagang doang, bukanlah negara Belanda.
VOC2Dalam konteks "menguasai" bisa dibilang VOC ga punya wilayah di Kepulauan Nusantara, selain Batavia dibangun sama Jan Pieterszoon Coen dari reruntuhan bandar Jayakarta. Secara garis besar peran VOC dalam wilayan Nusantara ini hanyalah hak monopoli dagang, yang bikin mereka dianggap sebagai “penguasa” lokal. Tapi kalau dalam konteks "menguasai" teritori politik, raja-raja lokal di Nusantara masih punya kekuasaan penuh sama daerahnya. Daaaan, yang paling penting, daerah operasi VOC tuh ga seluas wilayah NKRI sekarang lho. Cuma terbatas di Batavia sebagai markas, Banten sebagai salah satu pelabuhan utama, Ambon-Banda sebagai daerah penghasil cengkeh dan pala, Makassar dan sekitarnya untuk mengamankan jalur pengiriman rempah, dan Priangan (Jawa Barat), sebagai tempat penanaman tanaman secara massal (Preanger stelsel). Selain itu? Sebagian besar wilayah yang sekarang ini bernama Indonesia, masih dikuasain raja masing-masing (Sultan Aceh, Sultan Mataram, Sultan Gowa, Sultan Palembang, Sultan Banjar, dan Raja-raja Bali).
Okay, jadi apakah Negara Belanda sebetulnya gak pernah menjajah Indonesia? Apakah justru jangan-jangan selama ini Indonesia malah dijajah cuma sama satu perusahaan bernama VOC doang?
Terus jadinya kapan sih bener-bener dijajah sama Negeri Belanda? Seperti yang kita ketahuin bersama, VOC akhirnya dibubarin tahun 1799 oleh pemerintahan Republik Batavia (nama Negeri Belanda pas itu), dan diambil alih langsung sama pemerintahan republik sejak 1800. Sejak 1800 itulah nama daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan VOC diganti jadi Nederlands Indie atau Dutch East Indies (dalam Bahasa Indonesia disebut Hindia Belanda). Dan ini pun ga serta-merta menjajah seluruh Indonesia yah. Dengan serangkaian perang dari tahun 1800 sampe tahun 1914, barulah Belanda bisa nguasain hampir seluruh daerah Indonesia sekarang (kecuali bagian dalam Kalimantan, dan pedalaman Papua Barat). Jadi yaa, yang bener itu Negara Belanda ngejajah Indonesia cuma dari 1914 - 1949, dengan masa istirahat karena penguasaan Jepang sejak 1942 - 1945. Daan, totalnya berarti cuma 1949 - 1914 - 3 = 32 tahun!
Terus gimana ceritanya tuh muncul istilah dijajah sama Belanda selama 350 tahun?
Selidik punya selidik, pandangan ini nih bermula ketika Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge yang dulu jadi pimpinan di Hindia Belanda sejak 1931 berpidato di depan masyarakat Batavia sambil nyebutin: “Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg minstens 300 jaar blijven”, yang artinya kira2: “Belanda udah ada di sini sejak 300 taun yang lalu, dan tetep bakal ada di mari 300 taun ke depan!”. Udah tentu doong, klo diliat dari tahun pas dia mimpin, pidato ini sengaja ditujuin buat bikin jiper para tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lagi semangat-semangatnya menggalang kekuatan rakyat nusantara. Hehehe. Jadi sekarang masih mau percaya omongan Gubernur Jenderal de Jonge atau fakta sejarah?:
Spoiler for Penjelasan #3:
Buat
lo yang gak tau divide et impera, itu bukan nama mantra sihir dalam
Harry Potter yah. Divide et Impera itu sebuah taktik politis "adu domba"
untuk memecah belah sebuah wilayah besar, hingga akhirnya terpecah jadi
beberapa bagian kecil, untuk kemudian lebih mudah dikuasai. Nah, dalam
konteks ini banyak orang yang masih berpikir bahwa para "penjajah dari
Eropa" ini, dengan liciknya menggunakan taktik divide et impera untuk
memecah belah rakyat Indonesia.
Nah, sekarang pertanyaan gua adalah : Rakyat Indonesia yang mana yang dimaksud? Tapi kenapa istilah “divide et impera” ini bener-bener santer banget yah didengungin sejak kita kecil? Dalam konteks ini, gua gak sepakat dengan pernyataan bahwa siasat ini sering digunakan untuk memecah belah rakyat Indonesia. Alesannya ya simpel, lagi-lagi ya karena pas jaman segitu emang belum ada rakyat Indonesia yang bersatu! Boro-boro kenal istilah Indonesia, ngerasa sebagai satu kesatuan aja ga ada. Kita yang lahir setelah kondisi politik di Indonesia dan dunia ini relatif stabil emang biasanya susah untuk mandang bahwa seratus tahun yang lalu itu, kondisi geopolitis di dunia ini ga kaya sekarang gini. Apalagi 300 tahun lalu dong, pas VOC mulai menancapkan pengaruh perdagangannya di Kepulauan Nusantara. Mana ada yang disebut “persatuan Indonesia”.
Pertanyaannya sekarang, apakah waktu Kesultanan Banten sedang perang dengan Kesultanan Palembang di akhir abad 16 dan awal abad 17, VOC melakukan divide et impera? Ya nggak, kedua kerajaan itu emang kepisah kok. Apanya yang pecah-belah? apanya yang diadu-domba? Pas Kaum Adat dan Kaum Paderi saling perang, apakah Belanda melakukan divide et impera? Ya nggak, kedua kaum itu emang kepecah sebelum Belanda ngelakuin intervensi demi mengamankan aset-asetnya di Sumatera Barat. Ketika Bone ingin melepaskan diri dari “penjajahan” Kesultanan Gowa, apakah Belanda melakukan siasat divide et impera? Lagi-lagi nggak, karena emang dua entitas kerajaan itu emang selalu berseteru. Alih-alih ngelakuin divide et impera, VOC dan Hindia Belanda lebih bersifat sebagai katalis dalam semua konflik yang ada di Kepulauan Nusantara waktu itu. Keberpihakan Belanda sangat menentukan pihak mana yang akhirnya menang perang.
Tapi apakah Belanda ga pernah sama sekali melakukan siasat divide et impera selama berkuasa di Nusantara? Nah, khusus hal ini, emang pernah kejadian beberapa kali. Tapi untuk jangka waktu kependudukan ratusan tahun, siasat ini bisa dibilang jarang banget dipakai, yaitu cuman tiga kali:
Oke, jadinya sekarang ngerti dong yah, bahwa ga setiap tindak-tanduk VOC dan Hindia Belanda selama di Nusantara ini bersifat divide et impera. Buat lebih jelasnya lagi, mungkin bisa lo telusurin artikel-artikel menarik tentang divide et impera (atau divide and rule) di berbagai sumber.
Nah, sekarang pertanyaan gua adalah : Rakyat Indonesia yang mana yang dimaksud? Tapi kenapa istilah “divide et impera” ini bener-bener santer banget yah didengungin sejak kita kecil? Dalam konteks ini, gua gak sepakat dengan pernyataan bahwa siasat ini sering digunakan untuk memecah belah rakyat Indonesia. Alesannya ya simpel, lagi-lagi ya karena pas jaman segitu emang belum ada rakyat Indonesia yang bersatu! Boro-boro kenal istilah Indonesia, ngerasa sebagai satu kesatuan aja ga ada. Kita yang lahir setelah kondisi politik di Indonesia dan dunia ini relatif stabil emang biasanya susah untuk mandang bahwa seratus tahun yang lalu itu, kondisi geopolitis di dunia ini ga kaya sekarang gini. Apalagi 300 tahun lalu dong, pas VOC mulai menancapkan pengaruh perdagangannya di Kepulauan Nusantara. Mana ada yang disebut “persatuan Indonesia”.
Pertanyaannya sekarang, apakah waktu Kesultanan Banten sedang perang dengan Kesultanan Palembang di akhir abad 16 dan awal abad 17, VOC melakukan divide et impera? Ya nggak, kedua kerajaan itu emang kepisah kok. Apanya yang pecah-belah? apanya yang diadu-domba? Pas Kaum Adat dan Kaum Paderi saling perang, apakah Belanda melakukan divide et impera? Ya nggak, kedua kaum itu emang kepecah sebelum Belanda ngelakuin intervensi demi mengamankan aset-asetnya di Sumatera Barat. Ketika Bone ingin melepaskan diri dari “penjajahan” Kesultanan Gowa, apakah Belanda melakukan siasat divide et impera? Lagi-lagi nggak, karena emang dua entitas kerajaan itu emang selalu berseteru. Alih-alih ngelakuin divide et impera, VOC dan Hindia Belanda lebih bersifat sebagai katalis dalam semua konflik yang ada di Kepulauan Nusantara waktu itu. Keberpihakan Belanda sangat menentukan pihak mana yang akhirnya menang perang.
Tapi apakah Belanda ga pernah sama sekali melakukan siasat divide et impera selama berkuasa di Nusantara? Nah, khusus hal ini, emang pernah kejadian beberapa kali. Tapi untuk jangka waktu kependudukan ratusan tahun, siasat ini bisa dibilang jarang banget dipakai, yaitu cuman tiga kali:
-
Sewaktu ngebelah Kesultanan Mataram jadi 4 bagian, Kesultanan
Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, Puri Mangkunegaran, dan Puri
Pakualaman, pada perjanjian Giyanti, 13 Pebruari 1755. Walaupun ini juga
ga bisa dibilang Belanda yang punya niat. Para pangeran-pangeran
Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) dan Sambernyawa (Sri Mangkunegara
I) emang awalnya ngeberontak sama Sunan Pakubuwana III sebagai raja
Mataram yang sah, dan Sambernyawa ga pernah dilibatin sama proses
penyusunan Perjanjian Giyanti.
- Sewaktu
Snouck Hurgronje memetakan pola sosiologis masyarakat Aceh, yang sangat
berguna buat memecah belah masyarakat Aceh dan ujung-ujungnya menangin
perang Aceh yang mana Belanda ga menang-menang dan udah rugi banyak
secara finansial.
- Sewaktu
pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Undang-undang Indische
Staatsregeling (ISR) pada tahun 1926. Pasal 163 dalam undang-undang
tersebut nyebutin bahwa warga Hindia Belanda dibagi jadi tiga golongan,
yaitu
1) golongan Eropa dan Jepang,
2) golongan Timur Asing, serta
3) golongan Bumiputera.
Oke, jadinya sekarang ngerti dong yah, bahwa ga setiap tindak-tanduk VOC dan Hindia Belanda selama di Nusantara ini bersifat divide et impera. Buat lebih jelasnya lagi, mungkin bisa lo telusurin artikel-artikel menarik tentang divide et impera (atau divide and rule) di berbagai sumber.
Salah Kaprah #4
Penjajah Eropa Menyengsarakan
Penjajah Eropa Menyengsarakan
Spoiler for #4:
Jika
kita bicara tentang kependudukan bangsa Eropa di daerah kepulauan
Nusantara ini, kemungkinan yang terbersit di kepala lo adalah hal-hal
negatif yang dialami "bangsa Indonesia" pra-kemerdekaan. Katakanlah,
sepotong cerita tentang kediktatoran Herman Willem Daendels, seorang
gubernur jendral Hindia Belanda tahun 1808-1811 yang seringkali
dicitrakan sebagai manifestasi dari kekejaman. Mulai dari kerja rodi
lah, pembangunan jalan raya Daendels yang ngabisin ribuan nyawa lah,
sampe sistem pengadilan kelilingnya yang ga pandang bulu main
hukum-hukum aja orang-orang pribumi yang bersalah. Tapi masalahnya,
apakah jika kepemerintahan Daendels yang sewenang-wenang ini seolah-olah
merefleksikan hubungan dari kependudukan Bangsa Eropa di wilayah
Nusantara selama ratusan tahun? Sementara di sisi lain, kita mengenal
Sir Thomas Stanford Raffles yang seringkali dielu-elukan karena karyanya
dalam membangun Kebun Raya Bogor, nemuin Candi Borobudur, nemuin bunga
Rafflesia Arnoldi, pengubahan sistem pengelolaan tanah (landrente) yang
lebih nguntungin kaum pribumi yang punya tanah, dsb.
borobudur-temple-05 Penemuan dan pembangunan kembali Candi Borobudur
Dalam konteks ini, sebetulnya gua pengin lo semua melihat jaman kependudukan bangsa Eropa di wilayah kepulauan Nusantara dari sisi yang lain, bukan serta-merta kulit luar yang dengan gampangnya men-cap keterlibatan Bangsa Eropa dalam sejarah Indonesia pra-kemerdekaan sebagai "bangsa penjajah, kumpeni, diktator, pengeruk kekayaan negeri, penyengsara rakyat, dan semacamnya". Sebaliknya, ada banyak banget warisan dari bangsa Eropa, baik Belanda maupun Inggris yang manfaatnya masih terasa sampai sekarang ini. Yang bahkan bisa dibilang, peran serta mereka selama ratusan tahun, berkontribusi banyak dalam membangun karakter dan tatanan fundamental dari Bangsa Indonesia.
Contohnya dari mulai hal yang paling sederhana, yaitu pembangunan secara fisik deh, seperti infrastruktur sipil, rumah, jembatan, kanal. Jalan Raya Daendels, rel kereta sepanjang Pulau Jawa, Sumetera, Sulawesi, dll. Pendidikan K12 (12 tahun ajaran) yang hampir semua lo alami sendiri dari SD - SMP - SMA yang merupakan adaptasi dari HIS - MULO - AMS yang relatif bebas untuk semua kalangan (tanpa batasan sistem kasta seperti yg dialami India yang dijajah Inggris). Belum lagi dari segi hukum, mungkin selama ini lo gak sadar kalo kita mewarisi sistem peradilan dan kodeks Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) juga dari Belanda. Dari tatanan administrasi politik, kita juga berhutang-budi pada Belanda mempercayakan para bangsawan untuk jadi pemimpin residen, yang akhirnya kita kenal sekarang dengan istilah Kabupaten.
800px-Java_Great_Post_Road.svg Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels
Terakhir adalah hal yang paling penting dari semuanya adalah: rasa kebersatuan kita sebagai satu wilayah geografis yang akhirnya bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalo bukan karena hubungan dagang, ekonomi, serta tatanan sosial yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa selama ratusan tahun, bisa jadi Negara bernama Indonesia tidak pernah terbentuk. Atau mungkin wilayah geografis kepulauan dari Sabang sampai Merauke yang kita sekarang kita kenal bernama Indonesia ini malah terbentuk menjadi beberapa negara sendiri-sendiri, bisa-bisa yang muncul tuh Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Jawa Mataram, Republik Banten, Republik Demokratik Borneo, Republik Rakyat Tapanuli, dll. Nah lho, apa lo pernah kepikiran hal itu sebelumnya? Jadi kalo kita kembali pada pernyataan bahwa "Bangsa Eropa menjajah Indonesia dan menyengsarakan rakyat Indonesia selama ratusan tahun" itu terlalu cetek banget yah. Pengalaman para leluhur kita dengan bangsa Eropa selama ratusan tahun sangatlah dinamis dan juga kompleks, rasa-rasanya naif sekali kalau kita menyimpulkan fakta sejarah hanya dari satu atau dua sisi saja. Makanya kita perlu terus mengkaji serta mengevaluasi pemahaman kita akan segala sesuatu, termasuk juga tentang sejarah negara kita sendiri.
borobudur-temple-05 Penemuan dan pembangunan kembali Candi Borobudur
Dalam konteks ini, sebetulnya gua pengin lo semua melihat jaman kependudukan bangsa Eropa di wilayah kepulauan Nusantara dari sisi yang lain, bukan serta-merta kulit luar yang dengan gampangnya men-cap keterlibatan Bangsa Eropa dalam sejarah Indonesia pra-kemerdekaan sebagai "bangsa penjajah, kumpeni, diktator, pengeruk kekayaan negeri, penyengsara rakyat, dan semacamnya". Sebaliknya, ada banyak banget warisan dari bangsa Eropa, baik Belanda maupun Inggris yang manfaatnya masih terasa sampai sekarang ini. Yang bahkan bisa dibilang, peran serta mereka selama ratusan tahun, berkontribusi banyak dalam membangun karakter dan tatanan fundamental dari Bangsa Indonesia.
Contohnya dari mulai hal yang paling sederhana, yaitu pembangunan secara fisik deh, seperti infrastruktur sipil, rumah, jembatan, kanal. Jalan Raya Daendels, rel kereta sepanjang Pulau Jawa, Sumetera, Sulawesi, dll. Pendidikan K12 (12 tahun ajaran) yang hampir semua lo alami sendiri dari SD - SMP - SMA yang merupakan adaptasi dari HIS - MULO - AMS yang relatif bebas untuk semua kalangan (tanpa batasan sistem kasta seperti yg dialami India yang dijajah Inggris). Belum lagi dari segi hukum, mungkin selama ini lo gak sadar kalo kita mewarisi sistem peradilan dan kodeks Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) juga dari Belanda. Dari tatanan administrasi politik, kita juga berhutang-budi pada Belanda mempercayakan para bangsawan untuk jadi pemimpin residen, yang akhirnya kita kenal sekarang dengan istilah Kabupaten.
800px-Java_Great_Post_Road.svg Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels
Terakhir adalah hal yang paling penting dari semuanya adalah: rasa kebersatuan kita sebagai satu wilayah geografis yang akhirnya bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalo bukan karena hubungan dagang, ekonomi, serta tatanan sosial yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa selama ratusan tahun, bisa jadi Negara bernama Indonesia tidak pernah terbentuk. Atau mungkin wilayah geografis kepulauan dari Sabang sampai Merauke yang kita sekarang kita kenal bernama Indonesia ini malah terbentuk menjadi beberapa negara sendiri-sendiri, bisa-bisa yang muncul tuh Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Jawa Mataram, Republik Banten, Republik Demokratik Borneo, Republik Rakyat Tapanuli, dll. Nah lho, apa lo pernah kepikiran hal itu sebelumnya? Jadi kalo kita kembali pada pernyataan bahwa "Bangsa Eropa menjajah Indonesia dan menyengsarakan rakyat Indonesia selama ratusan tahun" itu terlalu cetek banget yah. Pengalaman para leluhur kita dengan bangsa Eropa selama ratusan tahun sangatlah dinamis dan juga kompleks, rasa-rasanya naif sekali kalau kita menyimpulkan fakta sejarah hanya dari satu atau dua sisi saja. Makanya kita perlu terus mengkaji serta mengevaluasi pemahaman kita akan segala sesuatu, termasuk juga tentang sejarah negara kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar